Minggu, 23 Agustus 2015

Jika belum punya pacar = belum bisa move on, Aku bisa apa?

      Sudah sekitar 2 tahun lebih aku tidak lagi mencoba mencari jodoh dengan cara biasanya, anggap saja aku sudah bosan. Dan waktu yang selama itu, aku pikir cukup lah untuk sedikit memberi penjelasan pada teman-teman setidaknya aku bukanlah yang dahulu pertama kalian kenal.
       Oke sebenarnya aku malas menuliskan ini di sosial media, tapi aku tetap manusia yang punya batas ketenangan. Ledekan dan bullyan yang bertubi-tubi, sudah biasa aku terima. Aku bahagia asal kalian tertawa bahagia karena aku. Namun rasanya 2 tahun lebih menurut aku sudah cukup basi dan bosan jika membahas itu-itu.. saja. Mau diledek macam apapun, aku tidak akan goyah. Namun pada akhirnya aku juga bisa jengkel.
       Hal yang sering banget dibicarakan adalah "aku belum bisa move on dari mantanku". Tentu aku segera membantahnya, namun tentu aku segera diserang dengan kata, "apa buktinya?" ini yang membuat aku kerpikiran. Apakah karena aku jomblo segitu lama membuat aku harus dicap sebagai makhluk "GAGAL MOVE ON?" haruskah?? Aku lebih suka dicap jomblo akut daripada gagal move on. Yakin. rasanya aku tuh apa, dan apakah mantanku sehebat itu sampai aku tidak bisa move on? Kalau disuruh balikan itu lho aku emoh. Dan itu sudah pernah, dulu.. aku lebih memilih tidak daripada harus kembali ke lingkaran yang sama. Bukan karena aku tidak bisa menerima dia, atau aku sudah berubah atau apa, tidak.. hal ini yang ingin aku berikan kepada semuanya.
       Aku dilahirkan sebagai sulung 3 bersaudara, dan aku cewek sendiri, adikku cowok semua. Aku selalu bahagia, tidak pernah kekurangan apapun Alhamdulillah.. Aku sempat pacaran dengan seseorang, yang kemudian saat pertama itulah aku terbuka dengan keluargaku, karena aku merasa aku sudah kuliah dan cukup dewasa untuk membicarakan hal yang sudah masanya. Tidak perlu aku ceritakan siapa, karena paling sudah pada tau. Keluargaku tidak pernah menuntutku untuk memikirkan jodoh, bukan tipe yang meributkan siapa pacarku sekarang. Hingga akhirnya aku cerita dengan siapa aku dekat, anak mana, dsb.
       Suatu ketika mungkin terlalu beraninya aku, dan ingin memulangkan motorku ke Purbalingga namun belum berani membawa sendiri, aku meminta izin orang tua untuk diantar pacarku saat itu. Aku utarakan semua, dan pacarku saat itu tentu tidak tega jika aku membawa sendiri motorku. Namun apa yang bapakku lakukan? beliau naik bis Purbalingga sampai Ungaran, dan bapakku menyuruhku turun dari Unnes sampai Ungaran. Di Ungaran kami bertemu dan saat itu juga bapakku langsung pulang bersamaku ke Purbalingga, naik motor boncengan. Betapa lelahnya bapakku yang sudah menua saat itu, Tapi apa? demi aku beliau lakukan itu. Aku ingat bahwa tanggung jawab orang tua pada anak laki-laki itu hingga dia baligh, setelah itu lepaslah tanggung jawab orang tua. Sedangkan untuk anak perempuan, hingga dia menikah. Apakah aku saat itu sudah menikah? belum, sekarang saja belum. 
       Saat itu aku hanya berfikir bapakku lebay, cuma boncengan saja ndak boleh. Apa yang salah tho? Tapi pernahkah membayangkan? hati bapak siapa yang tidak sedih anak perempuan yang dibesarkan dengan susah payah, ketika tumbuh besar dan cantik, menjadi idaman laki-laki namun malah dengan gampangnya anak perempuan itu dibawa pergi dengan lelaki itu? Hati bapak siapa yang tidak perih, anak perempuan yang dia lihat saat masih bayi yang sungguh merah, lebih memilih dijaga oleh lelaki lain yang bahkan mungkin baru dikenal beberapa bulan yang belum jelas kepastiannya? Dan betapa aku sadar bapakku yang selalu diam dengan tingkahku, ternyata sungguh ingin melindungiku, aku yang menurutku tidak terlalu istimewa untuk dilindungi secara ketat karena sudah terbiasa mandiri. Aku tetap putri tercantik di hidupnya. 
       Itulah hal pertama yang membuat aku sadar bahwa apa yang aku lakukan saat itu adalah salah. Maka dari itu ketika ada kesempatan untuk putus, aku lebih memilih itu. Aku selalu teringat bapakku, wajah letihnya sepulang kerja namun selalu bahagia saat aku pulang kerumah, aku dipeluknya, diciumnya, seakan ingin mengatakan bahwa akulah putrinya yang berharga di dunia ini. Jangan dikira pacarku saat itu bukan orang benar. Dia orang baik-baik dan bersedia mengenalkan dirinya pada bapakku, pada ibuku, keluarga besarku. Tapi tetap saja dia bukan suamiku. 
       Hingga setelah aku putus, aku bertekad tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Biarlah itu jadi kesalahanku, pelajaran bagiku. Dan akupun belajar naik motor sendiri Purbalingga-Semarang, bermula dari rombongan dengan teman-teman hingga aku berani melakukannya sendiri. Bukan aku sok jagoan, namun setidaknya ini yang bisa aku lakukan saat ini, untuk menenangkan hati bapak dan ibu. Aku akan jadi putrinya yang menenangkan hati, yang hebat dan mandiri, yang bisa membuktikan aku bisa jaga diri, hingga akhirnya akan ada yang bersedia menjagaku. 
       Aku bukan mau sok alim, tidak. Aku hanya tidak ingin, akulah yang menjadi penyebab bapakku terseret ke neraka, saat di akhirat nanti. Aku tidak ingin menyia-nyiakan ibadah dan amal bapakku, hanya karena beliau tidak tahu apa yang aku lakukan di perantauan ini, betapa menyakitkannya kelak jika itu terjadi. 
       Oiya ada 1 peristiwa juga, aku tentu bukan manusia sempurna. Aku pernah kecelakaan tunggal karena terpeleset di Bawen, saat aku mudik ke Purbalingga persis 3 minggu setelah aku putus. Aku ingat dengan jelas dibelakangku ada bus besar jurusan Solo, tapi Alhamdulillah aku masih diberi umur dan tidak parah, langsung aku melanjutkan perjalananku. Namun kemudian saat itu aku teringat, bagaimana jika saat itu aku mati? Alhamdulillah aku sudah putus. Coba misalkan aku sedang pergi bersama pacarku, lalu kemudian kecelakaan dan aku mati. Bayangkan betapa sedihnya seorang bapak. Beliau pasti akan menyesali seumur hidupnya, karena tidak bisa menjaga anak perempuan titipan Allah dengan baik, dan saat ajal menjemput malah bersama lelaki yang belum halal, apa yang akan dikatakan bapak dihadapan Tuhan saat dimintai pertanggungjawaban?? 
       Dan aku yakin, hati semua bapak di dunia sama, lembut dan menjaga semua anaknya dengan baik, apalagi anak perempuan. Semoga aku bisa membahagiakan bapakku, melepaskan tanggung jawab terhadapku, kepada orang yang benar-benar sehebat beliau meskipun aku yakin tidak akan pernah ada, lelaki sehebat bapakku dalam menjaga dan menyayangiku, yang dengan ikhlas setelah berjuang membesarkanku malah diberikannya anak perempuan tunggalnya kepada lelaki yang telah berjanji dihadapannya dan di hadapan Allah. Siapapun dia, bapakku pasti ikhlas asal aku bahagia dunia akhirat. Terima kasih bapak, terima kasih telah memilihkanku ibu yang hebat yang telah melahirkan aku, yang kau rawat hingga sebesar ini namun yang belum bisa membahagiakanmu. 


Sekaran, 23 Agustus 2015
Untuk bapakku, Abdan Syakur
Aku anakmu,


Yahyati Aulia